Bahasa Lampung
awalnya dipergunakan di daerah keresidenan Lampung, di daerah Komering
yang termasuk dalam keresidenan Palembang juga di daerah Krui. Menurut
van der Tuuk, dalam Bambang Suwondo (1983), bahasa Lampung dapat dibagi
dalam dua induk dialek yaitu dialek Abung dan dialek Pubian. Namun dalam
buku yang sama, Dr. Van Royen membagi bahasa daerah Lampung itu dalam
dua dialek yaitu “dilek nya” dan “dialek api”.
Tapi
sebenarnya dalam bahasa sehari-hari kita dapat membedakan antara dialek
yang ucapannya banyak memakai kata-kata “a” dan dialek yang banyak
memakai kata-kata “o”. Dialek “a” digolongkan dalam “Belalau”, sedangkan
dialek “o” atau “ou” digolongkan dalam dialek Abung.
Sebagai contoh, Dialek “a”: Kak saka ngakalinding haga bancong nyak rabai Mak hina gering nuntun bungan di tangkai. Dialek “o”: Kak sakou ngekelinding agou bacceng nyak ngabai Mak inou atei buguh ngebekem di tangkai.
Dalam bahasa Indonesia artinya adalah: “Sudah lama mendekat materus
terang saya takut, tak demikian hati ingin menggenggam bunga di
tangkai”.
Sebenarnya
antara kedua dialek itu tidak begitu banyak memiliki perbedaan. Jika
dihitung masyarakat penggunanya, dialek “a” lebih banyak dipakai
daripada dialeh “o”. Selain antara kedua dialek tersebut, terdapat juga
dialek campurannya “a” dan “o” yang terbentuk dari pengaruh setempat
lalu menjadi dialek “e”. Dialek ini nampak pada bahasa Lampung
Kayu-agung.
Jika
kita menggabungkan hasil penelitian Walker dan Vam Royen, maka bahasa
daerah Lampung bisa kita bagi dalam dialek langsung dengan perbedaan
adat istiasat masyarakat, sebagai berikut:
Lokasi
pengguna dialek “a” atau Belalau berada di tengah masyarakat Beradat
Peminggir di daerah; Melinting Maringgai, Pesisir Raja Basa, Pesisir
Teluk, Pesisir Semangka, Pesisir Krui, Belalalu/Ranau, Komering,
Kayu-agung. Pengguna lainnya adalah masyarakat Beradat di daerah;
Way-kanan, Sungkay, Pubian. Sementara lokasi pengguna dialek “o” atau
Abung, hanya berada di tengah masyarakat Beradat Pepadun yang tinggal di
daerah Abung dan Tulangbawang.
Bahasa Lampung, baik dialek “a” mau pun “o”, tidak memiliki tingkatan-tingkatan perbedaan dalam pemakaian bahasa seperti “undak usuk basa”
dalam bahasa Sunda. Hanya cukup mengganti kata ganti orang dalam
pembicaraan antar sesama orang muda, antar orang yang muda dengan orang
yang tua, atau antar sesama orang tua. Untuk menunjukkan kesopanan dalam
pembincangan dengan orang yang tua, cukup dengan melemahkan intonasi
atau tekanan pengujaran.
Kini
bahasa Lampung hanya menjadi bahasa komunikasi dalam kerabat yang
terbatas pemakaianya, yaitu hanya dipakai di rumah, di kampung-kampung
penduduk asli antar sesamanya, dan di waktu permusyawarahan adat. Ini
sangat disayangkan. Bahkan bahasa Lampung belum bisa eksis dalam
perkembangan teknologi, karena sofware kamus Bahasa Lampung-Indonesia
belum mendapat banyak sumbangsih entri data dari masyarakat penggunanya.
Padahal
menurut Prof Chaedar Alwasilah, guru besar UPI Bandung, pembiasaan
penggunaan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari dan dalam
pengajaran bahasa terhadap anak di Sekolah Dasar dan Menengah, sangatlah
penting. Karena dalam bahasa tidak hanya terdapat aspek komunikasi
saja, melainkan menyangkut juga aspek-aspek di dalam budaya daerah
tersebut. seperti pandangan hidup, ilmu pengetahuan, seni sastra dan
lain-lain. Dengan kata lain, jika sebuah bahasa telah kehilangan
penggunanya, maka hilang pula kebudayaan pengguna bahasa tersebut.
0 Comment:
Posting Komentar